Interested in what we do?
Let’s have a talk, and see how together we can take your brand to the next level.
Secara general, proses mendesain UX itu fleksibel banget. Setiap tim di suatu perusahaan, punya cara pendekatan yang beda-beda kalau soal desain. Lagi pula desain itu seni, bukan matematika, ya kan (walaupun ada hitung-hitungannya juga, sih). Tapi, ada satu hal yang kemungkinan Anda sering banget dengar dari obrolan dengan orang-orang yang berkutat di dunia ini: Design Thinking.
Benar nggak? Anda mungkin dengar kata-kata ini mulai dari obrolan santai di kafe kayak “iya bro, kita ikutin proses Design Thinking aja,” sampai company profile perusahaan yang mengklaim “kami menggunakan metode Design Thinking dalam merancang website klien blablabla.” Iya, iya. Tapi apa sih artinya?
Oke, ehem, jadi menurut bahasa kerennya, proses Design Thinking adalah metodologi desain yang memberikan pendekatan berbasis solusi dalam suatu pemecahan masalah. Simpelnya, Design Thinking itu cara problem solving yang mengedepankan end user. Untuk itu, salah satu kuncinya adalah nempatin diri di posisi pengguna produk, supaya hasil akhirnya nanti bisa sesuai dengan kebutuhan dan perilaku end user.
Ya begitulah singkatnya penjelasan Design Thinking. Tapi, seperti yang udah dibilang di awal tadi, proses mendesain UX itu fleksibel banget. Walau garis besarnya sama, setiap agency mungkin punya interpretasi dan versi masing-masing dari yang namanya Design Thinking. Terus, buat Definite, apa sih arti dari metodologi ini?
“Bagi Definite artinya kita bisa iterative, dan bisa solve problem dengan lebih tepat,” kata Managing Director Kita, Harya Dimas.
Oke Pak, kayaknya kita butuh penjelasan lebih lanjut, nih. Terus gimana cara Definite menerapkan proses Design Thinking, Pak Dim?
“Kita nggak ada cara khusus sich. Hanya saja kita menyebutnya sebagai LOVE,” katanya. (insert Korean love sign here. <3)
LOVE ini singkatan dari Learn, Observe, Verify, Experience, salah satu bagian dari prinsip #LoveCreateElevate yang jadi acuan kita dalam bekerja. “Biasanya langsung diaplikasikan di design sprint. Salah satu contoh implementasinya ada di project OLX,” kata Pak Dimas.
Jadi, ada lima tahap dalam penerapan proses Design Thinking.
Empathize alias berempati. Kaya yang udah dibilang sebelumnya, metodologi ini mengutamakan end-user, jadi hal yang paling penting dilakukan adalah menempatkan diri di posisi mereka. Dengan riset ke calon user di pasar yang dituju, kita bisa ngilangin asumsi soal apa yang kira-kira mereka butuh, tapi tahu sendiri apa yang benar-benar mereka perlukan.
Kalau udah dapat insight dari calon pengguna, tahap kedua adalah define. Analisis hasil riset Anda dan temukan apa yang jadi permasalahan mereka. Setelah nentuin apa problem-nya, baru Anda bisa mulai tahap ketiga, yaitu ideate.
Pada tahap ideate ini, dengan berbekal informasi yang didapat dari dua tahap pertama, Anda bisa mulai brainstorming dan bikin ide-ide gila dengan satu tujuan, yakni menyelesaikan masalah dari sisi user.
Tahap yang keempat adalah prototype. Ide-ide yang dihasilkan di tahap sebelumnya mulai direalisasikan ke beberapa alternatif produk dengan skala kecil. Di tahap ini pokoknya eksperimental banget. Hasil eksperimen terbaik yang dihasilkan bakal dipilih untuk diterapkan ke skala lebih besar untuk di-test di tahap kelima.
Di tahap terakhir ini, bisa jadi ada masalah baru yang muncul sehingga mesti bolak-balik ke tahap sebelumnya sampai masalah-masalah user semua bisa terpecahkan.
Jadi, walaupun ada lima tahap, proses Design Thinking ini nggak berarti selesai ketika sampai di tahap terakhir. Bahkan, bisa jadi kelima tahap ini nggak dilakukan secara berurutan. Lagi-lagi, setiap perusahaan, setiap tim, setiap individu, boleh jadi punya cara masing-masing kalau soal desain mendesain, deh.
“Di kita (Definite) proses Design Thinking nggak selalu berjalan dalam satu sprint. Karena kita adalah service company, ada stakeholder ketiga di sini—which is klien. Dan untuk efisiensi, kita bisa punya beberapa proses Design Thinking yang jalan secara paralel. Misalnya dari sebuah project, modul A ada di tahap prototype, dan modul B di tahap empathize. Ini possible karena kita punya both UX designer dan UI designer di dalam sebuah squad,” kata Pak Dimas.
“So far lima tahap ini adalah metode user-centered design yang ideal. Kalo kita ngomongin improvements, tons of opportunity di tahap empathize (yang didukung berbagai research methodology and its tools) dan di tahap ideate (dimana teknologi terus berkembang). And we’re excited to be a part of it,” kata Pak Bos.
Nah, sekarang Anda bisa menerapkan knowledge yang kami share di artikel ini ke project yang sedang Anda kerjakan. Tapi kalau Anda butuh informasi tambahan, kami siap membantu Anda!